Kuis Ramadan Aneh dan Kontroversial: Berhadiah Bayi!

Narayana 734 - Makin ketatnya persaingan membuat industri televisi makin kreatif membuat program acara yang menarik, demi mendongkrak rating. Namun, apa yang dilakukan sebuah program kuis di Pakistan melecut kontroversi.

Pembawa acara Liaquat Hussain memberikan hadiah tak terduga pada  pasangan yang ikut serta dalam acara yang disiarkan secara langsung, 7 jam sehari selama Ramadan: seorang bayi!

"Awalnya aku sangat terkejut. Aku tak menyangka akan diberi bayi perempuan ini," kata Suriya Bilqees, yang kini menjadi ibu angkat bayi berusia 2 minggu itu seperti dimuat CNN, Selasa (30/7/2013). "Aku sangat bahagia."

Bayi lain, berjenis kelamin laki-laki, akan diberikan pada pasangan lain yang ikut serta dalam acara itu dalam beberapa hari mendatang.

Liaquat Hussain punya banyak predikat, sebagai pemuka agama, bintang TV, bahkan simbol seks. Aksinya mencampuradukan agama dengan hiburan sering mengundang kontroversi.

"Saat Natal ada Sinterklas yang memberikan hadiah pada setiap orang, dan menjadi hari istimewa bagi umat Kristen. Bagi kami, Ramadan adalah saat teramat spesial, penting artinya untuk membuat orang bahagia," kata Hussain.

Acaranya, Aman Ramazan, mirip dengan acara The Price Is Right versi Pakistan, dengan 500 penonton mendapatkan hadiah jika berhasil menjawab pertanyaan tentang Al Quran.

Hadiahnya macam-macam, termasuk sepeda motor, microwave, mesin cuci, dan kulkas. Juga bayi.
Sementara, hadiah bayi yang diberikan dalam acara ditemukan oleh sebuah LSM, Chhipa Welfare Association -- yang mengaku, tiap bulan menerima lebih dari 15 bayi yang dibuang orangtuanya.

"Tim kami menemukan bayi yang ditinggal di jalanan, di keranjang sampah -- beberapa dari mereka tewas dan lainnya dimangsa binatang. Jadi, mengapa tidak, kami melakukan cara yang menjamin bayi-bayi malang itu tetap hidup dan tinggaldi rumah yang baik," kata Ramzan Chhipa, pengurus organisasi.

"Kami tak hanya memberikan bayi. Tapi juga ada prosedur pemeriksaan tersendiri. Pasangan yang menerimanya sudah mendaftarkan diri pada kami dan melakukan 4 sampai 5 sesi.

Namun, bertolak belakang dengan klaim LSM itu, pasangan yang diundang dalam acara tidak menandatangani dokumen apapun.

Sementara, adopsi secara resmi tidak dikenal di Pakistan. Tak ada UU yang mengaturnya. Biasanya, pasangan yang ingin mengadopsi anak harus mengajukan permohonan perwalian di pengadilan urusan keluarga.

"Bayi Bukan Piala"
Hadiah bayi mengundang komentar dari pemirsa, ada yang memuji, ada pula yang menentang keras. Menyebutnya sebagai  aksi publisitas semata.

"Woi, Pakistan, bangun!," tulis Shamim Mahmood dalam laman Facebook Chhipa Welfare Association. "Bayi bukan piala yang bisa dipindahtangankan ke sembarang orang."

Namun, Hussain si pembawa acara membela acaranya, dan mengatakan, pemberian bayi bukan untuk mendongkrak rating selama Ramadan. Ia yakin, acaranya menyatukan bangsa yang sedang retak -- yang dihantui kekerasan sektarian, intoleransi agama, dan terorisme.

"Ini adalah bayi yang kehilangan haknya untuk tumbuh, kemudian menjadi anak jalanan, dan bisa digunakan untuk serangan bom bunuh diri. Kami hanya mencoba menunjukkan alternatif," katanya.

"Menyuruh orang untuk mengambil anak-anak dari sampah di jalan-jalan, membesarkan mereka dan membuat mereka warga negara yang bertanggung jawab, bukan untuk menghancurkan masyarakat melalui terorisme," katanya.

Apapun, acara ini terbukti sangat populer, memecahkan rekor rating. Stasiun TV berniat melanjutkannya setelah Ramadan berakhir. Hussain juga berencana membuat program dengan penonton berasal dari minoritas pemeluk Hindu, Sikh, dan Kristen.

"Kami menciptakan simbol perdamaian dan cinta. Itulah tema acara kami -- untuk menyebarkan cinta. Seperti yang aku contohkan: memberikan anak yang dibuang pada pasangan yang tidak memiliki anak," kata Hussain. (Yahoo)

Tamu-tamu dari Eropa yang Tak Memberi Manfaat

Jose Mourinho, Rahmad Dharmawan, dan Ahmad Bustomi di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Selasa (23/7/2013).
Narayana 734 - Tur pra-musim klub-klub Eropa ke Asia, Afrika dan Amerika Utara adalah sebuah konsekuensi sepak bola modern yang tak terelakkan. Atas nama penggemar, para perusahaan sepak bola ini menggelar tur ke berbagai belahan dunia. Meminjam kata-kata Zen Rachmat Sugito, klub-klub ini menggelar pentas laiknya bintang-bintang pop menggelar konser. 

Semua atas nama penggemar, padahal kita tahu, semua dilakukan atas nama laba, brand image dan kepentingan ekonomi lain. 

Dengan sekitar 250 juta penduduk yang sebagian besar menggilai sepak bola, Indonesia jelas menjadi sasaran empuk klub-klub yang selama ini hanya bisa dinikmati aksinya lewat layar kaca. Angka statistik jumlah penggemar menjadi legitimasi klub-klub ini untuk menggelar pentasnya di Indonesia.

Situasi ini tidak bertepuk sebelah tangan karena di Indonesia sendiri, promotor berlomba-lomba mendatangkan klub-klub atau setidaknya bintang-bintang sepak bola Eropa tersebut. Siapa tak tergiur melihat potensi laba yang bisa didapat dari hasil mendatangkan idola-idola tersebut? Mendatangkan klub-klub dengan basis massa besar seperti Internazionale, Arsenal, Chelsea dan Liverpool tentu menjanjikan penjualan tiket yang mengesankan bukan?

Pertandingan akal-akalan pun kemudian digelar. Dengan menyematkan label All-Stars, Dream Team, Selection atau Indonesia XI, tim yang bermaterikan pemain-pemain tim nasional pun diadu dengan bintang-bintang dari negeri nun jauh di sana tersebut. Karena memang kalah kelas, tim kita kemudian kalah. Sering kali dengan skor telak, seperti yang terjadi di pertandingan melawan Arsenal, hari Minggu (14/7) lalu. Saat itu Indonesia yang diisi pemain timnas kalah 0-7.

Meski begitu, semua bersorak. Tak masalah tim Indonesia kalah, asalkan bisa menyaksikan idola-idola dari Eropa berlaga di depan mata. Apresiasi sekadarnya diberikan. Tim Indonesia sudah mengeluarkan kemampuan terbaiknya bla, bla, bla. Lalu kemudian, ketika pujian palsu dilontarkan dari kubu tamu, hati kita dengan mudah terpuaskan. Kata mereka, kita punya potensi, kita punya masa depan cerah dan semacamnya. 

Iya, memang. Lantas apa?

Setelah para tamu yang dipuja itu pergi, keadaan kembali normal. Tidak ada bekas konkret yang benar-benar mereka tinggalkan. Semuanya semu.

Memang betul pemain-pemain kita bisa mendapat pengalaman. Pun demikian dengan para penggemar yang terpuaskan dahaganya. Tapi sepak bola kita dapat apa? Apakah pengalaman seperti itu yang dibutuhkan para pemain kita? Apakah sorak-sorai macam itu yang benar-benar dirindukan?

Rasanya tidak.

Sepak bola kita tidak membutuhkan pertandingan-pertandingan macam itu. Bayangkan, pemain-pemain kita dikirim ke medan perang palsu untuk kemudian dibantai, dicerca, dan ditertawakan? Apa yang didapat sepak bola kita dari laga konyol semacam itu? Sesekali silakan, tapi untuk terus-menerus seperti itu, apa artinya?

Mengapa tim nasional kita tidak dihadapkan saja pada tim dari negara-negara yang kekuatannya seimbang dengan kita? Tentunya, masukkan itu ke agenda resmi FIFA. Dalam satu tahun kompetisi, ada 12-13 agenda FIFA untuk laga tim nasional, baik itu kualifikasi turnamen konfederasi, Piala Dunia, maupun ajang ujicoba. Berapa banyak yang kita gunakan? Nyaris tidak pernah.

Kemarin kita memang sempat menghadapi Belanda di ajang ujicoba resmi, tetapi pertandingan melawan Belanda itupun esensinya nyaris sama dengan pertandingan melawan klub-klub Eropa. Mereka datang ke sini sebagai idola. Tidak ada pelajaran berarti yang bisa kita petik dari sana karena sudah jelas terlihat bahwa memang kita kalah kelas dan hampir tidak mungkin menang. Analisis model apa pun akan sia-sia untuk mengevaluasi tim nasional kita kalau lawan yang dihadapi seperti itu.

Seandainya kita bertanding melawan negara-negara yang sama buruknya dengan kita, baru di situ akan terlihat apa saja yang menjadi kelebihan dan kekurangan kita. Tapi sudahlah, toh mereka yang berwenang mengurusi ini semua tetap akan bergeming. 

Bagi mereka, untuk apa kita bertanding melawan Tahiti, Kaledonia Baru, Liechstenstein, Kanada, atau semacamnya? Tidak menguntungkan! Tidak ada nama besar yang bisa dijual! Tiket tidak akan laku!

Semua serba mendadak, semuanya dilakukan tanpa perencanaan matang, dan semuanya tidak mendatangkan manfaat nyata. Jadwal liga dibuat seenak perut mereka yang punya liga. Jadwal berlaga tim nasional menjadi korban.

Sekarang, di sela-sela kompetisi pun, para pemain itu dipaksa untuk meladeni tamu-tamu yang hanya akan menertawakan kita di kamar hotel dan pesawatnya seusai mempermalukan kita. Untuk manfaat nyata, semua bilang tidak menguntungkan. Untuk semata urusan uang, tiba-tiba semua terlihat serius.

Sebetulnya, kedatangan tim-tim serta bintang-bintang dari Eropa itu tidak akan terlalu bermasalah asalkan tim nasional tidak terkebiri oleh kebodohan dan ketidakpedulian pengurus sepak bola kita. Kita selalu mengeluh tatkala FIFA merilis daftar peringkat tim nasional terbaru dan mendapati peringkat kita terus melorot, tetapi solusi konkret atas permasalahan ini tidak pernah ter(di)realisasikan.

Ini sama saja mengeluh lapar tetapi malas mencari makan.

Secara berkala, FIFA terus mengingatkan semua tim nasional di dunia ini untuk berbenah. Peringkat FIFA memang bukan segalanya, tetapi itu adalah cerminan apa yang sudah diraih persepakbolaan suatu negara. Di rilisan peringkat FIFA terakhir, Skotlandia bisa melonjak naik 24 tingkat ke peringkat 50 karena mereka serius berbenah. Kita tetap ada di peringkat 168 karena merasa sudah hebat dan hanya layak berlaga melawan bintang-bintang dari Eropa itu. Luar biasa sekali.

Kita harusnya ingat. Juara Piala AFF sekali pun kita belum pernah. Prestasi terbaik tim nasional kita dalam 10 tahun terakhir hanya mengalahkan Bahrain 2-1 di Piala Asia 2007, tetapi dengan itu pun kita gagal lolos dari fase grup lantaran kalah dari Arab Saudi dan Korea Selatan. 

Sekarang, lolos ke Piala Asia saja kita kesulitan. Sebagai perbandingan, Jepang, tim terbaik Asia saja, belum ada apa-apanya di tingkat dunia meskipun mereka sempat merepotkan Italia di Piala Konfederasi lalu.

Untuk mendekati Jepang saja rasanya waktu 10 tahun tidak akan cukup bagi kita. Ah, jangankan Jepang. Menahan laju Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, bahkan Timor Leste saja kita kelabakan. Lalu dengan situasi ini kita masih lebih memprioritaskan untuk menghadapi tim-tim Eropa yang semata-mata pamer kekuatan?

Ini semua soal prioritas. Kita harus lebih jeli memilah mana yang benar-benar penting dan mana yang bisa dikesampingkan. Muara terakhir persepakbolaan suatu negara adalah tim nasional. Sekarang untuk apa melakoni kompetisi kalau kualitas tim nasional tidak pernah diuji secara berkala? Alih-alih diuji dan dievaluasi, tim nasional kita, dengan label apa pun, pada akhirnya hanya diumpankan pada singa-singa lapar nan arogan dari Eropa.

Kita memang memiliki potensi. Siapa pun punya potensi. Tetapi apa artinya potensi tanpa realisasi? (Yoga Cholandha)

Gabah

Narayana 734 - Ada seorang yang sedang sakit jiwanya, yaitu dia merasa seperti sebutir gabah. Jadi dia sangat takut kalau melihat burung dara, dia takut dimakan. Keluarganya segera membawa ke Rumah Sakit Jiwa untuk mendapatkan perawatan intensif.

Enam bulan setelah menjalani perawatan dan keadaannya semain membaik. Dokter berkata kepadanya untuk menambah rasa percaya dirinya.

Dokter: "Sekarang sudah tahu siapa kamu kan?"
Pasien: "Saya orang dok, bukan sebutir gabah."

Dokter: "Bagus, berarti kamu sudah sembuh."
Pasien: "Saya mau tanya dok, boleh?"

Dokter: "Silakan saja, apa?"
Pasien: "Apa burung dara tahu bahwa saya ini orang, bukan gabah?"

Dokter: "Kamu masuk lagi. Kamu belum sembuh."

Sumber: Selaras

Ongkos Upah Membantu Ibu

Narayana 734 - Ini adalah mengenai nilai kasih Ibu dari seorang anak yang mendapatkan ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur. Kemudian dia menghulurkan sekeping kertas yang bertulis sesuatu. si ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerima kertas yang dihulurkan oleh si anak dan membacanya

Ongkos upah membantu ibu:
1) Membantu pergi ke Warung: Rp 20.000
2) Menjaga adik Rp 20.000
3) Membuang sampah Rp 5.000
4) Membereskan Tempat Tidur Rp 10.000
5) Menyiram bunga Rp 15.000
6) Menyapu Halaman Rp 15.000
Jumlah : Rp 85.000

Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak yang raut mukanya berbinar-binar. Si ibu mengambil pena dan menulis sesuatu dibelakang kertas yang sama.

1) Ongkos mengandungmu selama 9 bulan – GRATIS
2) Ongkos jaga malam karena menjagamu -GRATIS
3) Ongkos air mata yang menetes karenamu – GRATIS
4) Ongkos Khawatir kerana selalu memikirkan keadaanmu- GRATIS
5) Ongkos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu – GRATIS
6) Ongkos mencuci pakaian, gelas, piring dan keperluanmu – GRATIS
Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku – GRATIS

Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, “Aku Sayang Ibu”. Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu di depan surat yang ditulisnya: “Telah Dibayar”.

Sumber: Harapan Putra

Demian Aditya Jadi Vokalis Samsons?



Demian dikabarkan bakal menjadi vokalis Samsons
Narayana 734 - Pasca mundurnya Bams dari posisi vokalis, band Samsons pun sedang mencari kandidat pengganti. Menariknya nama magician, Demian Aditya belakangan dikabarkan akan mengisi posisi tersebut.

"Sebenernya ini belum bisa dipublish dulu. Ada yang saya kerjakan di Samsons dan saya akan berhubungan dengan band itu. Tapi belum bisa cerita dulu," kata Demian di studio Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan (29/07).

Pria tersebut menambahkan. "Soal gabung atau nggak itu dia belum bisa cerita. Kan Samsons dalam tahap pencarian vokalis ya. Waktu yang foto beredar itu memang aku datang dan aku sendiri memang lagi latihan dengan Samsons," lanjutnya.

Meski belum mau blak-blakan soal gabungnya dengan band pemilik tembang Kenangan Terindah tersebut, namun Demian menyatakan bahwa dirinya memang bakal berhubungan dengan vokalis Samsons yang baru.

"Saya nantinya akan berhubungan dengan vokalis lah atau berhubungan dengan pengganti vokalisnya Samsons," tuturnya.

Meski berprofesi sebagai magician, Demian sebenarnya sudah bergelut dengan band sejak duduk di bangku SMA. "Saya mencintai musik dari SMA, saya ngeband dan jadi drummer. Cuma waktu itu belum sempet jadi vokalis," imbuhnya.

Muncul wacana bakal menjadi vokalis, Demian mengaku tidak akan meninggalkan dunia sulap. Baginya sulap masih yang paling utama.

"Kami bernaung dalam wadah lembaga sendiri. Sering ngobrol-ngobrol dan nyanyi, pokoknya intinya seperti itu. Masih dalam progres. Pokoknya berhubungan sama si Vokalis. Pokoknya nanti deh dikabarin. Tapi sulap nggak akan tergeser kok. Tetep hatinya ke sulap," tandasnya. (kapanlagi)